Fiqh Jinayah



Kelompok 4

Fiqh Jinayah

Jarimah Ta’zir



Disusun oleh :
1.       Dwi Anista Febriyani     1521030349
2.       Khairudin Aziz              1521030475
3.       M. Aris Munandar         1521030074
4.       Muhamad Arif D           1521030384
5.       Rizky Pinkkan S.           1521030126
6.       Romaini                        1521030272
7.       Septiana Tri Lestari       1521030499
8.       Supriyadi                       1521030432
9.       Yesi Rahmawati            1521030441
10.   Yowanda Saputra          1521030301

Fakultas Syariah
Jurusan Hukum Ekonomi Syariah
UIN Raden Intan Lampung
2016
 



Bab 1
Pendahuluan

A.    Latar belakang
Jenis-jenis kejahatan yang telah ditentukan syariat berikut hukumannya itu pada prinsipnya adalah apa yang dikendaki syariat dalam pemeliharaan dan keharusan keberadaannya yang sifatnya sangat urgen. Kelonggaran dalam keberadaan jenis-jenis kejahatan tersebut berakibat sangat fatal bagi kehidupan kemanusiaan. Hal-hal yang sangat dharury itu ditunjukan untuk pemeliharaan terhadap jiwa, akal pikiran, agama, harta, dan keturunan.
Adapun selebihnya, yang merupakan bagian terbesar dari jumlah tindak pidana dan hukuman, diserahkan kepada ulul amri dalam menentukan jenis pelanggaran maupun bentuk hukumannya. Walaupun demikian, syariat masih menentukan beberapa diantaranya sebagai suatu kejahatan yang dapat dihukum, tanpa menentukan bebtuk sanksinya.
Bagian yang tidak ditentukan jenis pelanggarannya dan juga jenis hukumannya, dalam terminologi fiqh disebut dengan ta’zir. Suatu jenis jarimah dan sanksi hukuman yang menjadi wewenang ulul amri dalam pengaturannya.

B.     Rumusan masalah
1.      Bagaimana Pengertian jarimah ta’zir ?
2.      Apa Dasar Hukum Ta’zir ?
3.      Macam-macam Jarimah Ta’zir ?
4.      Bagaimana Hukuman Jarimah Ta’zir ?

C.    TUJUAN
1.      Mengetahui apa pengertian jarimah ta’zir
2.      Mengetahui dasar hukum jarimah ta’zir
3.      Mengetahui apa saja macam-macam jarimah ta’zir
4.      Mengetahui bagaimana hukuman jarimah ta’zir bagi si pelaku
BAB 2
PEMBAHASAN

A.  Pembahasan Jarimah Ta’zir
1.      Pengertian Jarimah Ta’zir
Ta’zir adalah bentuk masdar dari kata – يعزرعزر yang secara etimologis berarti الردو المنع , yaitu menolak dan mencegah. Kata ini juga memiliki arti نصره menolong atau menguatkan. Hal ini seperti dalam firman Allah SWT berikut[1]

لِّتُؤْ مِنُواْبِا للَّهِ وَرَسُولِهِ  وَتُعَزِّ رُوهُ وَتُوَقِرُوهُ وَتُسَبِّحُوهُ بُكْرَةً وَاَ صَيلاً
Artinya :
Supaya kamu sekalian beriman kepada Allah dan Rosul-Nya, menguatkan (agama) Nya, dan bertasbih kepada-Nya di waktu pagi dan petang (Q.S Al-Fath (48) :9)
Ta’zir secara etimologi berarti menolak atau mencegah. Dalam dunia pesantren, istilan ta’zir diartikan sebagai suatu pembelajaran atau pendidikan dalam bentuk hukuman tertentu terhadap santri yang karena suatu sebab.[2]
اَلتَّعْزِ يْرُ هُوَ اَلْعُقُوْ بَا تُ ا لَّتِىْ لَمْ يَرُدَّ مِنَ ا لشَّا رِعِ بِبَيَا نِ مِقْدَا رِهَا لِوَ لِيِّ اْلاَ عْرِ
 اَوِالْقَا ضِى اْلمُجَا هِدِ يْنَ.
Artinya :
“Ta’zir adalah bentuk hukuman yang tidak disebutkan ketentuan kadar hukumannya oleh syara’dan menjadi kekuasaan waliyyul amri atau hakim”.
Bagi jarimah ta’zir tidak diperlukan asas legalitas secara khusus, seperti pada jarimah hudud dan qhisash diyat. Artinya setiap jarimah ta’zir tidak memerlukn ketentuan khusus, satu per satu. Hal tersebut memang sangat tidak mungkin, bukan saja karena banyaknya jarimah ta’zir hingga sulit dihitung, melainkan juga sifat jarimah ta’zir itu sendiri yang labil dan fluktuatif, bisa kurang atau atau bisa bertambah sesuai keperluan.

2.      Dasar Hukum Ta’zir
وَ عَنْ عَا ئِشَةَ رَضِىَ ا للّهُ عَنْهَا أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللّهُ عَلَيْهِ وَ سَلَّمَ قاَ لَ :
 أَ قِيْلُوْا ذَوِى الْهَيْئَا تِ عَثَرَا تِهِمْ إِ لاَّ الْحُدُوْدَ
Artinya :
Dari Aisyah ra. Bahwa Nabi saw. Bersabda “ ringankanlah hukuman bagi orang-orang yang tidak pernah melakukan kejahatan atas perbuatan mereka, kecuali dalam jarimah- jarimah hudud (HR Ahmad, Abu Dawud, Nasa’i, dan Baihaqi).
Secara Umum hadis tersebut menjelaskan tentang eksistensi ta’zir dalam syariat Islam. Yaitu mengatur tentang teknis pelaksanaan hukuman ta’zir yang berbeda antara satu pelaku dengan pelaku lainnya, tergantung kepada status mereka dan kondisi-kondisi lain yang menyertainya.
Adapun tindakan sahabat yang dapat dijadikan dasar hukum untuk jarimah dan hukuman ta’zir antara lain tindakan Sayidina Umar Ibn Khattabketika ia melihat seseorang yang menelentangkan seekor kambing untuk disembelih, kemudian ia mengasah pisaunya. Khalifah Umar memukul orang tersebut dengan cemeti dan ia berkata : “asah dulu oalu itu “.[3]

3.    Macam-macam Jarimah Ta’zir
1.      Jarimah Ta’zir yang menyinggung Hak Allah
Yaitu segala sesuatu yang berkaitan dengan kemaslahatan umum. Misalnya membuat kerusakan dimuka bumi, perampokan, pencurian, pemberontan, perzinahan, dan tidak taat pada ulil amri.
2.      Jarimah Ta’zir yang menyinggung Hak Individu
Yaitu segala sesuatu yang menyinggung kemaslahatan bagi seorang manusia. Misalnya tidak membayar hutang dan penghinaan.[4]

Jika dilihat dari segi sifatnya, jarimah ta’zir dapat dibagi kepada tiga bagian yaitu :
a.       Ta’zir karena melakukan perbuatan maksiat.
b.      Ta’zir karena melakukan perbuatan yang membahayakan kepentingan umum.
c.       Ta’zir karena melakukan pelanggaran.
Disamping itu, dilihat dari segi dasar hukum (penetapannya), ta’zir juga dapat dibagi kepada tiga bagian, yaitu sebagai berikut :
1.      Jarimah ta’zir yang berasal dari jarimah-jarimah hudud atau qhisash, tetapi syarat-syaratnya tidak terpenuhi, atau ada syubhat, seperti pencurian yang tidak mencapai nishab atau oleh keluarga sendiri.
2.      Jarimah ta’zir yang jenisnya disebut dalam nas syara’ tetapi hukumannya belum ditetapkan, seperti riba, suap, dan mengurangi takaran timbangan.
3.      Jarimah ta’zir yang baik jenis maupun sanksinya belum ditentukan oleh syara’.
Jenis ketiga ini sepenuhnya diserahkan kepada ulil amri, seperti pelanggaran disiplin pemerintah. [5]

4.      Hukuman Jarimah Ta’zir[6]
1.      Hukuman Mati
Sebagaimana diketahui, ta’zir mengandung arti pendidikan dan pengajaran. Dari pengertian itu, dapat kita pahami bahwa tujuan ta’zir adalah mengubah si pelaku menjadi orang yang baik kembali dan tidak melakukan kejahatan yang sama pada waktu yang lain.
Pada dasarnya semua ulama membolehkan sanksi mati ini sebagaimana hukuman ta’zir apabila ada kemanfaatan dan keadaan pun menuntut untuk itu.

2.      Hukuman Jilid
Dalam jarimah ta’zir, hukuman ini sebenarnya juga ditunjuk Al-Qur’an untuk mengatasi masalah kejahatan atau pelanggaran yang tidak ada sanksinya. Kberadaan hukuman ta’zir bagi pelaku jarimah ta’zir juga disepakati oleh ulama melalui ijma’. Karena hukuman ta’zir bagi pelaku jarimah ini tidak ditunjuk secara jelas dalam Al-Qur’an, para ulama berbeda pendapat tentang berapa banyak hukumn jilid yang harus di jatuhkan bagi pelaku.
Jumlah jilid bagi pelaku jarimah ta’zir yang diikhtilafkan ulama adalah sebagai berikut. Jumlah jilid bagi jaramah ta’zir itu tidak boleh melebihi hukuman ta’zir pokok, yaitu :
Ø  40 kali bagi peminum khamr
Ø  80 kali bagi penuduh zina dan
Ø  100 kali bagi pezina ghairu muhsan.
3.      Hukuman Penjara
Hukuman penjara dalam pandangan hukum islam berbeda dengan pandangan hukum positif. Menurut hukum Islam, penjara dipandang bukan sebagai hukumn utama, tetapi hanya dianggap sebagai hukuman kedua atau sebagai hukuman pilihan. Hukuman pokok dalam islam bagi perbuatan yang tidak diancam dengan hukuman had adalah hukuman jilid. Biasanya hukuman ini hanya dijatuhkan bagi perbuatan yang dinilai ringan saja atau yang sedang-sedang saja. Walaupun dalam prakteknya  dapat juga dikenakan kepada perbuatan yang dinilai berat dan berbahaya. Hal ini karena hukuman ini di kategorikan sebagai kekuasaan hakim, yang karenanya menurut pertimbangan kemaslahatan dapat dijatuhkan bagi tindak pidana yang dinilai berat.
4.      Hukuman Pengasingan
Mengenai istilah pembuangan atau pengasingan ini, juga terjadi ikhtilaf ulama. Sebagian mengartikan pembuangan sesuai dengan arti harfiah, yaitu mambuang dari satu tempat ke tempat yang lain, dari negeri yang satu ke negeri yang lain. Sebagian mengartikan pembuangan sebagai nama lain dari pemenjaraan sebab penjara pada hakikatnya juga semacam pembuangan juga, artinya dia dijauhkan dari keluarga dan masyarakatnya.
5.      Hukuman Penyaliban
Dalam pengertian ta’zir hukuman salib berbeda dengan hukuman salib yang dikenakan bagi pelaku jarimah hudud hirabah. Hukuman salib sebagai hukuman ta’zir dilakukan tanpa didahului atau disertai dengan mematikan si pelaku jarimah. Dalam hukuman salib ta’zir ini, si mujrim disalib hidup-hidup dan dia dilarang makan dan minum atau melakukan kewajiban shoaltnya walaupun sebatas dengan isyarat. Adapun lamanya hukuman ini tidak lebih dari tiga hari.
6.      Hukuman Pengucilan (Alhajru)
Sanksi ini dijatuhkan bagi pelaku kejahatan ringan.asalnya hukuman ini diperuntukan bagi wanita yang nusyuz, membangkang terhadap suaminya, Al-Qur’an memerintahkan kepada leki-laki untuk menasihatinya. Kalau hal itu tidak berhasil maka wanita tersebut disolasi dalam kamarnya sampai ia menunjukan tanda-tanda perbaikan.
7.      Hukuman Peringatan dan Ancaman
Peringatan juga merupakan hukuman dalam Islam. Bahkan dalam berbagai bidang, seseorang menerima ancaman sebagai bagian  dari sanksi. Dalam hal ini hakim cukup memanggil si terdakwa dan menerangkan perbuatan salah yang dilakukannya serta menasihatinya agar tidak berbuat serupa dikemudian hari.
8.      Hukuman Pencemaran
Hukuman ini berbentuk penyiaran kesalahan, keburukan seseorang yang telah melakukan perbuatan tercela, seperti menipu dll. Pada masa lalu upaya membeberkan kesalahan orang yang telah melakukan kejahatan dilakukan melalui teriakan dipasar atau tempat keramaian umum. Tujuannya adalah agar khalayak ramai mengetahui perbuatan orang tersebut dan menghindari kontak dengan dia supaya terhindar dari akibatnya.
9.      Hukuman Terhadap Harta
Hukuman terhadap harta dapat berupa denda atau penyitaan harta si mujrim. Hukuman berupa denda, umpamanya pencurian buah yang masih tergantung dipohonnya dengan keharusan pengembalian dua kali harga asalnya. Hukuman denda juga dapat dijatuhkan bagi orang yang menyembunyikan, menghilangkan, atau merusakkan barang milik orang lain dengan sengaja.
10.  Sanksi-sanksi lain
Sanksi-sanksi yang disebutkan diatas itu pada umumnya dapat dijatuhkan terhadap setiap jarimah atas dasar pertimbangan hakim. Terhadap sanksi-sanksi lain yang bersifat khusus, sanksi-sanks tersebut dapat berupa penurunan jabatan, atau pemecatan dari pekerjaan, pemusnahan atau penghancuran barang-barang tertentu, dll.
11.  Khaffarat
Khaffarat pada hakikatnya adalah suatu sanksi yang ditetapkan untuk menebus perbuatan dosa pelakunya. Hukuman ini diancam atas perbuatan yang dilarang dalam syara’ karena perbuatan itu sendiri dan mengerjakannya dipandang sebagai maksiat. Pada dasarnya sanksi ini merupakan sanksi yang bersifat ibadah. Jadi, ruang lingkup kaffarat adalah antara hukuman dan pengabdian kepada khalik.













Bab 3
Penutup

A.    Kesimpulan
Ta’zir secara etimologi berarti menolak atau mencegah. Dalam dunia pesantren, istilan ta’zir diartikan sebagai suatu pembelajaran atau pendidikan dalam bentuk hukuman tertentu terhadap santri yang karena suatu sebab.
Secara Umum hadis tersebut menjelaskan tentang eksistensi ta’zir dalam syariat Islam. Yaitu mengatur tentang teknis pelaksanaan hukuman ta’zir yang berbeda antara satu pelaku dengan pelaku lainnya, tergantung kepada status mereka dan kondisi-kondisi lain yang menyertainya.
Adapun macam-macam ta’zir yaitu, jarimah ta’zir yang menyinggung hak Allah dan jarima ta’zir yang menyinggung hak individu.
Adapun hukuman jarimah ta’zir adalah sebagai berikut, Hukuman Mati, Hukuman Jilid,Hukuman Penjara,Hukuman Pengasingan, Hukuman Penyaliban, Hukuman Pengucilan (Alhajru), Hukuman Peringatan dan Ancaman, Hukuman Pencemaran, Hukuman Terhadap Harta, Sanksi-sanksi lain, dan Khaffarat.













DAFTAR PUSTAKA

Nurul Irvan dan Masyrofah. 2013. Fiqh Jinayah. Jakarta. AMZAH.

Hakim, Rahmad. 2000. Hukum Pidana Islam (Fiqih Jinayah). Bandung. CV PUSTAKA SETIA.

Wardi Muslich, Ahmad. 2005. Hukum Pidana Islam. Jakarta. SINAR GRAFIK OFFSET


[1] M.Nurul Irfan,2013,FIQH JINAYAH, hlm,136
[2]  Rahmad Hakim,2000, hukum pidana islam (fiqih jinayah), hlm, 140
[3] Ahmad wardi muslich, 2005, hukum pidana islam, hlm, 252
[4]  Ibid, hlm, 255
[5] Ahmad wardi muslich, 2005, hukum pidana islam, hlm, 252
[6] Rahmad Hakim,2000, hukum pidana islam (fiqih jinayah), hlm, 155

Komentar